Petualangan
memang tak akan pernah membosankan, dari dulu sampai sekarang manusia bertahan
karena berpetualang, selalu mencari hal yang baru, bermanfaat dan bermutu. Banyak “orang-orang awam” yang selalu tanpa lelah dan bosan bertanya, “
apa sih enaknya naek gunung?, apa sih yang dicari disana?buang-buang tenaga
saja” sungguh, aku benar-benar sudah bosan dengan pertanyaan yang gak masuk
akal dan tolol itu(menurutku), memang dulu awal-awalnya selalu aku jawab dengan
penuh kebanggaan dan kengototan, tapi lama-lama aku sadar(ato bosan? ), sama aja aku jawab kalo pendapat orang itu tetap sama
dengan yang diatas tadi, pertanyaan-pertanyaan tadi lalu aku jawab dengan
senyum, dengan diam dan kalopun aku jawab “yak karena ada gunung maka aku daki,
kalian gak akan pernah tahu rasanya sensasi berpetualang di alam liar kalo gak
merasakan sendiri”.
Banyak juga yang
bilang kalo petualangan (mendaki gunung) itu dekat dengan maut, hobinya orang
yang cari sensasi aja, ah.. menurutku gak juga, malah petualangan-petualangan
yang aku lakukan adalah salah satu caraku untuk menghargai hidup, caraku untuk
tetap atau bahkan memperkuat/memupuk semangat untuk bertahan hidup, berusaha merasakan keindahan-keindahan dalam
kesulitan. Ada yang bilang, “kalo ada 1 orang waras diantara 10 orang gila,
maka 1 orang itu yang gila” kayaknya aku setuju dengan quote itu, terlalu
banyak orang-orang yang sulit menghargai pilihan orang lain, terlalu banyak
rasa ingin ikut campur dalam hidup orang lain dengan diatasnamakan sayanglah,
perhatianlah, padahal yang tau apa yang terbaik buat diri kita ya kita sendiri,
bukan orang lain. Tapi seperti orang prancis bilang, “ ces’t le vie ” inilah hidup, paling tidak hidup menurutku..
Dulu, waktu
masih awal-awal naek gunung, hal yang aku cari cuman puncak dan puncak, hanya
itu, tapi seiring sering dan bertambahnya jam terbang membuat aku merasa rugi
kalo aku naek gunung hanya sekedar mengejar puncak. Setelah itu aku menjadi
orang yang selalu mencoba menikmati setiap langkahku, setiap tarikan nafasku,
aku memanjakan mata dan pikiran, jadi mendaki tidak lagi menjadi beban,
puncak?? Ya memang jadi prioritas, tapi gak selalu, kondisional aja. Apapun
kalo dinikmati tu rasanya gak berat.
Sayangnya,
benar-benar sayangnya, akhir-akhir ini aku sering bertemu dengan orang yang
mengaku “petualang(pendaki)” tapi memiliki
semacam kejanggalan dalam berpetualang, ada yang hanya menggunakan
perlengkapan apa-adanya(waton munggah, ra jamin medun) ato monek (modal nekat),
ada yang mendaki tapi cuma buat mabok atao malah merusak alam, ya itu memang
kembali pada diri masing-masing ya, tapi secara pribadi aku tidak setuju dengan
apa yang mereka lakukan, kecuali kalo memang didasari akan mencoba ilmu Survival atau IMPK, tapi apapun itu, petualangan harus didasari Safety First, kita tidak boleh
menyepelekan alam, tolol kalo punya pikiran akan mampu mengalahkan alam, yang
ada kita mati kalo ceroboh dan gak mencoba bersahabat dengan alam. Berbuat
baiklah kepada alam, alam akan berbuat lebih baik lagi kepadamu.
Memang alam
telah menyediakan apa yang kita butuhkan, tapi bukan berarti kita bisa
meremehkan kekuatan aLam, sebenarnya juga ada beberapa temen petualang yang
masih merasa kurang sreg dengan kemudahan-kemudahan yang diberikan alat, tapi
ya memang alat itu dibuat untuk memberikan ekstra keamanan, kenyamanan dan
mungkin keselamatan, kembali lagi kpada pribadi masing-masing, kalo aku sih
kondisional aja.
Tentang mabok,
dulu aku juga seperti itu, tapi sekarang aku rasa itu tolol, sayangnya lagi,
aku sering ditipu teman-teman dari tim lain untuk minum atau nyoto, padahal aku kira itu halal,
busyet!! Yok opo kon iku cak!!. Minum alkohol memang bikin hangat, tapi itu
cuma sebentaar banget, setelah itu pori-pori kita akan terbuka dan akhirnya
rasa dingin lebih menggigit daripada gak minum, makanya jangan mabok kalo mao
berpetualang, cuk!! marai sial tenan rek.. (pengalaman pribadi, tersesat
berkali-kali di gunung karena mabok). Alhamdulillah dah lama aku jijik ma
barang-barang kaya gitu.
*Berpetualang di
alam bebas, mendaki dan mendaki, selalu ada sudut-sudut bumi yang teramat sensual bagi orang-orang
sepertiku dan teman-temanku yang katanya “anak aLam” dan menyebut diri pecinta
aLam. Selalu ada kebanggaan, mengalahkan lelah dan ego diri. Itu bisa berupa
puncak-puncak gunung yang menuding langit atau liang gua yang kelam, seperti
ada mahluk yang menunggu kita disana. Atau tebing tegak lurus menawan seakan
minta dijamah, jeram deras yang tak pernah bisa berkompromi. Atau angkasa yang
tak bertepi? Samudera yang dalam?. Ah banyak sekali sudut-sudut dan bentang
alam yang indah menawan, betapa beruntungnya manusia.
Selalu begitu,
disetiap perjalanan, disetiap kelelahan jeda menuju klimaks, disitulah
letak rasa itu, rasa yang.. ah.., sulit
disimpulkan, tak ada kata yang dapat mewakili perasaan itu. Hanya ada gairah
aneh saat energi itu kemudian akan menyusut lagi ditelan rutinitas kehidupan.
Begitu seterusnya, berulang-ulang. Foto-foto eksotis, cerita-cerita tentang
heroisme, bahwa kita adalah manusia unik, berani, kuat perkasa dan tahu apa
yang terbaik buat diri kita, berani menjadi beda. Pada saatnya nanti alam akan
kembali memanggil, berbisik dan terus mengganggu. Dan kita datang lagi,
mencumbuinya lagi, terpuaskan lagi, pulang lagi. Seperti candu yang tak pernah
selesai. Seegois itukah aku? Sesederhana itukah hidup? Kalau hanya sesederhana
itu, maka sebutan yang paling tepat adalah penikmat alam!” Bukan pecinta
alam!”.
Aku berharap
terlebih untuk diriku sendiri , teman-teman dan sodara-sodaraku yang sudah
mengaku dan merasa telah menyandang predikat sbagai “pecinta alam” untuk
benar-benar mencintai, bukan hanya sekedar menikmati, bisa berguna tak cuma
jadi pengguna. Mari kita jaga, lindungi dan rawat alam yang sudah sekarat ini
karena ini bukan warisan nenek moyang kita, alam ini adalah titipan anak cucu
kita.
“berbagi waktu
dengan alam, kau akan tahu siapa dirimu yang sebenarnya, hakikat manusia (gie)”
*butet manurung, sokola rimba.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar